Dunia lagi ‘belah kubu’. Ada G7 (geng ‘bule’ lama: AS, Eropa) dan ada BRICS (geng ‘bos’ baru: Tiongkok, Rusia, India). Kayak dua ‘geng’ anak sultan di sekolah. Terus, Indonesia (si anak populer) diajak gabung dua-duanya.
Jurus klasik kita: “Bebas Aktif”. Artinya? Kita nggak mau ‘nikah’ sama satu kubu. Kita ‘temenan’ sama dua-duanya. Ke G7 kita ‘jualan’ green energy & demokrasi. Ke BRICS (terutama Tiongkok) kita ‘jualan’ nikel & infrastruktur.
‘Main cantik’ ini emang kelihatan pinter. Kita ambil cuan dari kiri dan kanan. Tapi risikonya? Kita bisa ‘kepleset’. Kalau ‘perang dingin’ mereka makin panas, kita dipaksa milih. AS nggak suka kita ‘mesra’ sama Tiongok, Tiongkok juga curiga kita ‘main mata’ sama AS.
The big question buat business insider: ke mana kita condong? So far, cuan terbesar (investasi pabrik/smelter) datang dari BRICS (Tiongkok). Tapi, cuan ter-sustainable (teknologi hijau, pasar premium) ada di G7. Ini adalah balancing act level dewa!
Intisari:
- Dunia terbelah antara dua kubu ekonomi besar: G7 (Barat) dan BRICS (Timur).
- Indonesia mempraktikkan politik “Bebas Aktif”, berteman dengan kedua kubu untuk cuan.
- Kubu G7 menawarkan pasar green/premium, sementara BRICS menawarkan investasi infrastruktur/industri besar.
- Risiko kebijakan ini adalah Indonesia bisa ‘terjepit’ jika tensi kedua kubu memanas.

